Sabtu, 03 Juni 2023

ASAL USUL Ziarah ke Gunung Pring

 

Warga Karangmalang, Candisari, Secang ziarah ke makam Waliyullah Gunung Pring  

Warga Karangmalang, Candisari, Secang ziarah ke makam Waliyullah Gunung Pring  


Zawiyah-Jateng | Selepas runtuhnya kedhaton Majapahit yang ditandai dengan sengakalan Sirna Ilang Kertaning Bhumi, maka putra-putri Brawijaya V juga menyebar ke berbagai daerah. 


Satu diantara pangeran tersebut bernama Raden Bondan Kejawen. Dialah ayah dari Ki Ageng Getas Pendowo yang menurunkan Ki Ageng Selo. 


Nama terakhir ini terkenal sebagai tokoh legenda yang konon dapat menaklukkan, bahkan menangkap petir dalam sebuah pertempuran yang sangat dahsyat hingga meninggalkan api abadi di daerah Mrapen. 


Baca Juga:

Review Film: Buya Hamka


Beliau pula yang menciptakan tombak Kiai Plered, sebuah pusaka yang kemudian secara turun-temurun menjadi piandel bagi dinasti Mentawisan. 


Tombak sakti inilah yang kelak diturunkan kepada Ki Ageng Enis dan sampai kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya.


Pajang surut, maka fajar kekuasaan menyingsing di bumi Mataram. Danang Sutawijaya yang dikenal pula sebagai Ngabehi Loring Pasar atau Panembahan Senopati naik tahta menjadi raja pertama Mataram.


Tatkala Mataram berkembang, salah seorang adik PanembahaAgusju pati yang bernama Pangeran Singosari justru meminggirkan diri dari pusat kekuasaan. 


Sejak awal ia memang lebih menekuni ilmu agama sebagaimana diajarkan Wali Songo ataupun para ulama setelahnya. Ia kemudian pergi mengembara dalam rangka ingin menyebarkan agama di pedalaman daerah Kedu.


Baca Juga:

Review Film: Buya Hamka


Di sebuah tanah perbukitan sisi barat gunung Merapi adik Senopati tersebut menetap. Bukit yang tidak seberapa tinggi tersebut memiliki gerumbul rumpun bambu yang sangat lebat. 


Dari kejauhan nampaklah sebuah gunung yang diselubungi rumpun bambu. Itulah sebabnya daerah tempat tinggal Pangeran Singosari ini kemudian lebih dikenal dengan nama Gunung Pring. 


Karena Pangeran Singosari ingin benar-benar nyawiji, membaur dengan rakyat, maka ia justru sengaja menutupi identitas kepangeranannya. Karena ia dikenal alim dan pernah nyantri di pesantren, maka masyarakat sekitar menjulukinya dengan sebutan Raden Santri.


Kiai Raden Santri tergolong ulama awal yang menyebarkan agama di wilayah sekawan keblat gangsal pancernya gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. 


Keturunan Kiai Raden Santri berturutan adalah Kiai Krapyak I, Kiai Krapyak II, Kiai Krapyak III, Kiai Harun, Kiai Abdullah Sajad, Kiai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, hingga Kiai Dalhar, dan termasuk Kiai Ahmad Abdulhaq. 


Anak keturunan Kiai Raden Santri inilah yang kemudian menjadi ulama penyebar dan menjadi tokoh agama Islam di wilayah Gunung Pring hingga saat ini. peran ini kini dilanjutkan melalui Pondok Pesantren Darussalam di Watucongol.


Makam Kiai Raden Santri dan anak cucunya kebanyakan berada di kawasan atas Gunung Pring dan kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi ummat Islam dari berbagai penjuru tanah air. Kompleks makam Kiai Raden Santri terletak di sisi barat kota Muntilan, tepat di atas sebuh bukit yang sangat asri. 


Makam Gunung Pring secara administrasi berada di Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Namun demikian, secara asal-usul sejarah kepemilikian, makam kompleks makam ini merupakan milik Keraton Ngayojakarta Hadiningrat di bawah Reh Kawedanan Hageng Sriwandowo bagian Puroloyo.


Memasuki kaki bukit sebagai akses masuk ke kompleks makam, pengunjung akan disambut terminal parkir dengan deretan ruko yang menjajakan berbagai peralatan ibadah maupun souvenir hasil kerajinan masyarakat setempat. 


Untuk naik ke atas bukit ada dua pilihan akses jalan berundak yang dapat dilalui, satu berada di sebelah Masjid Kiai Raden Santri melewati sisi timur, dan satu lagi melewati Mushola Raden Santri lewat sisi utara bukit. Gunung Pring merupakan sebuah bukit pendek yang dapat didaki dalam waktu tidak lebih dari 20 menit.


Menapaki anak tangga yang sedikit menanjak memang membutuhkan ekstra tenaga dan tarikan nafas. Namun sambil berjalan ke atas, kita akan disuguhi pemandangan sekitar yang sangat eksotis. 


Ada dataran kota Muntilan di sisi timur, gunung Merapi-Merbabu jauh di sebelah timur dan timur laut. Sementara di sebelah selatan terhampar daerah pertanian yang ijo royo-royo hingga batas pegunungan Menoreh.


Baca juga:

NIKMATI PROSESNYA Beratnya Perjalanan Ibadah Kita


Menjelang Kerajaan Mataram berdiri, Kiyai Raden Santri pernah menjabat sebagai Senopati Perang yang bertugas mengajarkan salat kepada para prajurit. Saat akan mengajarkan salat kepada para prajurit, di dusun itu Kiyai Raden Santri tidak menemukan air untuk berwudlu.


Kemudian Kiyai Raden Santri berdo’a kepada Allah agar diberikan air. Lalu Kiyai Raden Santri membuat sendang dengan tongkatnya dan dengan izin Allah, sendang itupun memancarkan air, bahkan hingga kini sendang tersebut tak pernah berhenti memancarkan air, meski di musim kemarau sekalipun.


Sendang itu terletak di Dusun Kolosendang, Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Disebutkan pula, saat Kiyai Raden Santri menetap di Desa Santren, ia suka berkhalwat atau menyepi di puncak bukit Gunung Pring.


Suatu hari, ketia Kiyai Raden Santri hendak pulang dari bukit Gunung Pring menuju Desa Santren, ia mendapati sungai yang harus ia seberangi sedang meluap dan dilanda banjir. Kyai Raden Santri berkata kepada air 


“Air, berhentilah, aku mau menyeberang” 


Maka luapan air itupun berhenti, batu-batu sungai bermunculan kembali karena banjir telah reda. Itulah sebabnya, tempat tersebut diberi nama Watucongol yang berarti batu bermunculan,

wallohu a'lam


Baca Juga:

IBNU QOYYIM Lima Cara Berfikir Positif


Zawiyah Jateng TV


Silakan Klik

JAYANING Jahe Wangi Super 

DUA VARIAN RASA Gula Aren dan Kayu Secang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar